Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sitaro

SEKRETARIAT DAERAH

Tagana Sitaro Hidup Berdampingan dengan Gunung Api

Gelegar gemuruh petir dan dentuman keras mengagetkan Hendri Riangkamang (29) ketika sedang memasak di posko pengungsi Gunung Ruang, di Pulau Tagulandang, Kabupaten Siau Tagulandang Biaro (Sitaro), Sulawesi Utara, pukul 19.00 Waktu Indonesia Tengah, Rabu (17/4/2024). Kehadiran anggota Taruna Siaga Bencana (Tagana) Sitaro di Tagulandang ini untuk membantu pengungsi dari dua desa di kaki Gunung Ruang, Laingpatehi dan Pumpente, yang sebelumnya mengungsi akibat letusan pertama Gunung Ruang pada Selasa (16/4/2024).

Dalam kurun waktu 48 jam, Gunung Ruang terus meraung. Gunung Ruang hanya berjarak 1-2 kilometer saja dari Pulau Tagulandang. Akibatnya, dampak erupsi Gunung Ruang, seperti hujan batu ataupun guguran abu vulkanik, sangat dirasakan warga di Pulau Tagulandang.

”Lagi di dapur umum menyiapkan makan malam pengungsi, tiba-tiba gunung meletus lagi. Suara petir keras sekali. Semua langsung berhamburan ke jalanan,” tutur Hendri.

Sebagai seorang Tagana, hal wajib pertama yang harus dilakukan dalam kondisi tersebut adalah mengevakuasi masyarakat ke tempat yang aman. Sialnya, keadaan gelap malam itu membuat hal tersebut muskil dilakukan. Ratusan warga sudah pergi menyelamatkan diri masing-masing. Banyak dari pengungsi menggunakan sepeda motor atau mobil saat mencari tempat aman.

Hendri beberapa kali coba menghentikan motor dan mobil yang melintas dengan lambaian tangan. Tidak satu pun yang berhenti. Ia tertinggal.

Tanpa sempat mengenakan alas kaki, Hendri dan seorang anggota Tagana lain pun hanya bisa berlari membawa tas berisi perlengkapan seberat 20 kilogram. Di tengah hujan batu dan guguran abu vulkanik, ia menempuh jarak lebih kurang 4-5 kilometer hingga akhirnya mendapat tumpangan di kampung sebelah, Desa Lesah Rende. Itu pun dengan cara yang sedikit memaksa. Mencegat motor yang melintas.

Selama berlari, Hendri hanya berpikir mengenai nasib keluarganya nanti, khususnya sang istri yang baru ia nikahi pertengahan 2023. ”Hari itu, kalau tidak bisa menyelamatkan diri mungkin meninggal karena batu atau karena tertabrak kendaraan. Kulit kaki terkelupas,” ujarnya.

Perjuangan untuk keluar dari amukan Gunung Ruang begitu menguras tenaga. Hendri dan temannya baru tiba dari Pulau Siau, ibu kota Kabupaten Sitaro, pada Kamis subuh. Setibanya di sana, ia harus mendirikan tenda pengungsian, dapur umum, dan fasilitas lainnya.

Setelahnya, para sukarelawan harus memasak dan menyediakan makanan bagi para pengungsi. Belum sempat beristirahat, erupsi datang malam harinya. Hendri menjelaskan, hal tersebut menjadi salah satu tantangan utama Tagana. Harus siaga dalam kondisi apa pun.

Minimnya kendaraan penyelamatan dan peralatan keamanan diakui Hendri menjadi kendala dalam evakuasi. Saat evakuasi, Hendri hanya menggunakan senter dari gawainya sebagai cahaya penunjuk jalan. Ia tidak memiliki helm dan senter khusus. Kendaraan roda empat, bahkan roda dua, pun tidak tersedia sehingga para sukarelawan hanya bisa berlari saat erupsi terjadi. Tas gunung yang ia panggul sedikit melindungi belakang kepala Hendri dari lontaran batu.

”Peralatan-peralatan safety kita memang belum ada. Ini yang sangat kurang. Jadi, Tagana hanya bisa sabar dan semangat,” ucapnya.

Pria yang bergabung dengan Tagana Sitaro pada 2019 ini mengakui, peristiwa tersebut sedikit membuatnya trauma. Namun, ia tidak jera untuk menjadi sukarelawan Tagana jika ada bencana kembali terjadi di daerahnya. Kabupaten Sitaro merupakan daerah rawan bencana geologi karena memiliki dua gunung api aktif. Selain Gunung Ruang, terdapat gunung api aktif lain, yakni Gunung Karangetang di Pulau Siau.

Sudah hampir satu minggu, Hoky Areros (45), Tagana Sitaro berada di posko pengungsian di Desa Apengsala, Tagulandang, Sitaro. Sejak bergabung dengan Tagana Sitaro pada 2016, ini merupakan kedua kalinya ia turun menjadi sukarelawan di bencana geologi di Sitaro.

Saat Gunung Karangetang meletus pada 2019, Hoky juga terlibat. Akibat bencana tersebut, ratusan warga di Desa Batu Bulan, Kecamatan Siau Barat Utara, Sitaro, terisolasi. Warga di wilayah ini memang akrab dengan bencana gunung api.

Pada pertengahan 1990-an, ketika Hoky masih duduk di bangku sekolah menengah pertama, ia pun merasakan keganasan Karangetang. Ia dan keluarga selamat karena sigap saat mengevakuasi diri ke daerah aman. Wilayah Sitaro yang rawan bencana inilah yang mendorong Hoky untuk bergabung menjadi sukarelawan Tagana.

”Itu pengenalan pertama saya dengan bencana gunung api,” ujarnya.

Setiap kali aktivitas gunung mulai naik, ia harus siaga. Untuk keluarga dan untuk masyarakat. Hal dasar yang ia dan sukarelawan Tagana lain siapkan adalah kendaraan penyelamatan untuk membawa masyarakat ke titik evakuasi.

Senada dengan Hendri, ketidaktersediaan kendaraan membuat evakuasi sulit dilakukan. Tagana Sitaro sebenarnya memiliki kendaraan roda empat untuk evakuasi. Namun, usianya yang sudah sepuh membuat mobil ini rewel. Pada awal 2024, mobil ini pun rusak dan belum masuk bengkel.

Peralatan keamanan seperti helm dan keperluan penyelamatan lain juga tersedia. Hoky mengaku, dengan kondisi tersebut, penanganan dan evakuasi tidak optimal. Ia berharap agar peralatan yang disediakan bisa menunjang kinerja mereka dalam situasi bencana.

”Bencana skala besar ataupun berat mungkin kita akan kelimpungan sendiri dan bisa jadi korban. Dalam hati ingin menuntut kondisi dan peralatan yang lebih baik lagi. Tapi, namanya juga sukarelawan untuk kemanusiaan, harus banyak bersabar, tidak elok juga harus meminta ini itu,” ujarnya.

Source: kompas.id

 

SHARE

Facebook
Twitter
WhatsApp
Email
Telegram